Untuk menghindari pengulangan sejarah pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965, peristiwa itu justru harus diinformasikan secara benar, jernih, dan obyektif.
Khusus untuk peristiwa G30S saya melihat ada peluang dengan masih cukup banyaknya tokoh-tokoh yang hidup, baik dari kalangan pemerintah Orde Lama, militer, partai politik, maupun ormas pada masa peristiwa itu terjadi.
Sebuah karya tulis sejarah yang baik adalah yang berusaha seobyektif mungkin, meski untuk obyektif 100% tidak mungkin karena sejarah itu adalah ilmu non eksakta. Caranya ialah dengan mengambil sumber dari berbagai sisi dan sudut pandang. Bila mengambil sumber lisan tentu dengan cara mewawancarai para tokoh dari berbagai golongan, termasuk yang PKI atau dituduh PKI.
Kalau kita bisa mengungkapkan sejarah secara obyektif, kita justru akan memetik keuntungan dengan mengambil salah satu guna sejarah yaitu guna edukatif atau fungsi didaktis agar kita tidak jatuh dua kali dalam lubang yang sama.
Dalam Al Qur-an Surat Yusuf ayat 111 dikatakan guna sejarah adalah sebagai ibroh atau pelajaran. Sekarang bagaimana bisa sejarah itu menjadi ibroh, bila kita tidak obyektif dalam mengungkapkannya?
Untuk dapat menuliskan sejarah peristiwa G30S, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah penulisan memoar dari para tapol kasus G30S, karena memoar yang ditulis sendiri oleh pelaku sejarah termasuk sumber primer bagi penulisan sejarah.
Masalahnya, seringkali penulisan memoar ini cenderung kurang obyektif dan banyak yang kurang mempercayai kebenarannya. Ini dapat dimaklumi, karena penulisan memoar memang bersifat sangat subyektif, yang menyangkut pula penggambaran suatu peristiwa dari sudut pandang penulisnya sendiri, yang bisa jadi berbeda dengan pandangan orang lain atau bahkan pandangan pemerintah.
Alternatif pertama untuk mengatasi unsur subyektivitas ini adalah dengan penulisan karya ilmiah baik itu tesis atau disertasi seperti yang pernah dilakukan oleh Anak Agung Gde Agung dengan disertasinya yang diterbitkan berjudul Renville. Disertasi ini tadinya berasal dari buku memoar Anak Agung Gde Agung. Atau yang dilakukan oleh George Mc Turnan Kahin dengan disertaisnya berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia yang juga telah diterbitkan.
Proses ini bermanfaat untuk mengurangi subyektivitas isi sebuah memoar. Subyektivitas memoar yang dijadikan disertasi menjadi lebih rendah dibandingkan memoar yang bukan disertasi, meski tetap lebih tinggi subyektivitasnya dibandingkan disertasi yang ditulis bukan oleh pelaku sejarahnya sendiri.
Dengan penulisan ilmiah, obyektivitas dapat lebih mendekati kebenaran karena proses penulisannya dilakukan dengan bimbingan promotor yang sejarawan. Namun harus diingat, ada satu kelemahan bila kita mengambil proses ini. Yaitu, sulitnya pembaca disertasi tersebut untuk memilah-milah data yang ada, apakah kejadian tertentu dialami sendiri oleh penulis ataukah informasi dari orang lain.
Alternatif kedua dalam penulisan memoar ini adalah para pelaku sejarah dalam hal ini para eks tapol menulis memoar saat ini namun baru diterbitkan setelah mereka meninggal. Hal ini mirip dengan perlakuan terhadap arsip-arsip rahasia yang baru boleh dibuka setelah 30 tahun peristiwanya sendiri berlangsung.
Hal ini semata-mata agar dapat memperoleh fakta yang sejelas mungkin karena kalau dterbitkan sekarang mungkin saja para eks tapol kurang merasa bebas dalam menuangkan pengalamannya.
Sebagai contoh penulis merasa kurang puas membaca buku memoarnya Oei Tjoe Tat terutama yang berkenaan dengan peristiwa G30S. Di sana ia mengatakan tidak mengetahui peristiwa itu. Namun informasi ini meragukan sekali. Maka untuk mencegah tidak maksimalnya pengungkapan fakta-fakta sejarah sekitar G30S sebaiknya memoar tersebut diterbitkan apabila pelaku sejarah tadi sudah meninggal dunia.
Kelemahan proses ini adalah unsur subyektivitasnya yang sangat tinggi. Juga adanya kemungkinan-kemungkinan penulisan yang tidak sesuai dengan zeitgeist (jiwa zaman) dan sering terjadi anakronisme yaitu memandang dan menilai peristiwa masa lalu dengan kaca mata atau semangat masa kini.
Satu contoh dari anakronisme ini adalah pandangan banyak orang yang melihat Mohammad Natsir sebagai tokoh disintegratif dan anti Pancasila karena memimpin golongan nasionalis Islami vis a vis golongan nasionalis sekuler dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan Pancasila dalam sidang Majelis Konstituante pada periode 1955-1959.
Masyarakat sekarang memandang hal itu dengan keadaan zaman sekarang di mana Pancasila sudah menjadi ideologi yang mapan dengan UUD yang berlaku sekarang UUD 1945 yang jelas menyatakan dasar negara kita adalah Pancasila. Padahal pada periode 1955-1959 UUD yang berlaku adalah UUD 1950 yang melegalisasi adanya Konstituante selaku badan pembuat Undang-Undang Dasar.
Dan dalam sidang Konstituante para anggotanya dapat dengan bebas memperdebatkan ideologi mereka secara terbuka bahkan komunis sekalipun.
Kelemahan penulisan memoar selain anakronisme adalah daya ingat si pelaku sejarah. Apalagi kalau umur pelaku sejarah sudah lanjut. Sebagai contoh, Mpu Tantular dalam menulis kitab Sutasoma memakai nara sumber seorang yang sudah berumur di atas 80 tahun.
Mpu Tantular sendiri mengatakan ia meragukan daya ingat sang sumber tersebut. Hal di atas adalah hal yang wajar dan menusiawi sekali.
Penulisan Catatan Harian
Contoh lain yang menarik adalah pada acara peringatan detik-detik proklamasi tanggal 17 Agustus 1995 sebuah stasiun TV swasta menayangkan wawancara dengan beberapa orang pelaku sejarah. Di antaranya terdapat seorang ibu yang dahulu adalah mahasiswi Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) di Salemba (sekarang FKUI).
Ketika ditanya oleh reporter televisi mengenai sejarah suatu peristiwa ibu itu kesulitan menjawab karena lupa. Ibu itu lantas membuka tasnya dan mengambil catatan hariannya pada saat ia masih berusia 19 tahun. Kemudian ia membaca catatan itu dengan lancar dan indah, mengungkapkan suasana saat itu yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Inilah satu bukti bahwa faktor ingatan bukanlah suatu hal yang dapat dianggap remeh.
Karena itu menilik pengalaman ibu tadi, ada langkah kedua untuk penulisan sejarah selain memoar. Yaitu dengan menerbitkan catatan harian yang dimiliki para pelaku sejarah seperti yang dimiliki oleh ibu yang mantan mahasiswi sekolah kedokteran tadi.
Kelebihan catatan harian adalah dapat menggambarkan peristiwa dengan semangat zaman itu sebagaimana sang ibu tadi yang sanggup membuat merinding yang membacanya atau yang mendengar itu dibacakan. Dan catatan harian ini umumnya disimpan baik-baik di tempat yang aman dan terhindar dari resiko perusakan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah para pelaku sejarah itu mempunyai kebiasaan menulis catatan harian? Selain itu untuk mencegah reaksi-reaksi yang berlebihan dari massa terhadap penerbitan catatan harian ini, sebaiknya penerbitannya dilakukan setelah para penulisnya meninggal dunia. Seperti halnya pernah dilakukan pada catatan harian Soe Hok Gie atau catatan harian Ahmad Wahib.
Seperti yang terjadi terhadap catatan harian Ahmad Wahib, timbul reaksi pro-kontra. Namun begitu, toh, penulisnya sudah meninggal, jadi catatan tinggal catatan.
Demikianlah langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam upaya pengungkapan sejarah peristiwa G30S supaya kita dapat mengambil pelajaran darinya. Tentunya yang terutama adalah agar kita tidak terantuk batu yang sama pada kali yang kedua (fungsi didaktis), untuk membentuk identitas bangsa (fungsi pragmatis), dan untuk memecahkan persoalan yang sama (fungsi genesis).
Agung Pribadi,
No comments:
Post a Comment