Peristiwa pemberontakan PKI 30 September 1965 yang mengambil korban 7 orang Perwira Tinggi 6 0rang perwira Tinggi dan seorang Perwira pertama Angkatan Darat (koreksi dari mas Valentino), yang kemudian disebut 7 Pahlawan Revolusi, rasanya semua orang Indonesia tahu. Penjelasan resmi dari Pemerintah masih mengacu pada buku bikinan rezim Orde Baru: Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, terbitan Sekretariat Negara, 1994. Buku yang sering disebut sebagai buku putih G-30-S ini menggiring pembaca untuk membuat kesimpulan bahwa PKI adalah dalang Peristiwa G-30-S. Belum baca? Nonton film manisnya Arifin C. Noer Pengkhianatan G30S/PKI kan? Ya itulah, gak beda jauh!
Memang ada versi lain dari kejadian itu? Ah, gak usah bersikap pura-pura tak tahu begitulaaaah……….
Meskipun pemutaran film itu sekarang bukan lagi menjadi tontonan wajib (berarti diakui dong, kalau ada yang salah disitu?), tapi penjelasan resmi itu belum direvisi Entah ini kesengajaan atas dasar pesanan, atau memang kita memang tak pernah peduli dengan sejarah. Atau kita memang tidak punya dana cukup untuk mengungkapkan sejarah…………
Dokumen CIA yang diklasifikasikan sebagai sangat rahasia, biasanya diumumkan kepada publik setelah dokumen itu berusia lewat 40 tahun. Tapi khusus mengenai Indonesia di seputar peristiwa itu, sampai saat ini masih disimpan rapat. Mantan Dutabesar Amerika Serikat untuk Indonesia tahun 1965-1969 Marshall Green dalam buku memoarnya Dari Sukarno ke Soeharto: G30S/PKI dari kacamata seorang Duta Besar, secara tegas memastikan tidak ada keterlibatan CIA dalam proses alih kekuasaan itu. Padahal ketika ditugaskan ke Indonesia, Juli 1965, Green sudah terkenal sebagai spesialis kudeta, karena posisinya selalu ada di tempat yang terjangkit penyakit kudeta di wilayah Asia .
Jadi, memang CIA tidak pernah terlibat dalam peristiwa itu?
Lupakan Dokumen Gilchrist yang katanya palsu itu.
Andrew Gilchrist (1910-1993), adalah Duta Besar Inggris untuk Indonesia (1962-1966). Dalam sebuah telegramnya ke Kementerian Luar Negeri Inggris, Gilchrist mengungkapkan adanya rencana gabungan intervensi militer AS-Inggris di Indonesia. Pihak AS belakangan mengumumkan bahwa dokumen ini palsu adanya.
Ah, saya juga tidak sedang nulis tentang Cornell Paper.
Cornell Paper adalah julukan untuk sebuah publikasi akademis yang ditulis mahasiswa pasca sarjana Universitas Cornell (Ithaca-New York), Benedict Anderson, Ruth McVey serta Frederick Bunnel, 10 Januari 1966. Thesis ini dibawah tanggung jawab pakar Asia Tenggara dan Direktur Kajian Indonesia Modern di Universitas Cornell, George T. Kahin. Publikasi ini seharusnya hanya dibuat untuk kalangan terbatas. Tapi koran The Washington Post menyebarkannya 5 Maret 1966. Penguasa Orde Baru berang dan membuat para penulis dan penanggung jawabnya dicekal masuk Indonesia. Karya ilmiah itu jadi barang haram disini. Justru karena itu, para mahasiswa menjadikannya “bacaan wajib”. Kala itu rasanya jarang ada mahasiswa Indonesia yang belum pernah membaca karya ini.
Yaaaaah sudahlah. Saya bukan ahli sejarah. Hanya rakyat biasa yang mengalami masa-masa suram itu. Bukan pula seorang penikmat kontroversi, hanya seorang yang cengengesan…..
Saya hanya ingin cerita tentang masa-masa itu, dari sudut pandang seorang anak singkong.
Awal1965 itu, Ayah dipindah tugaskan dari Jakarta kembali ke Surabaya yang sudah beberapa tahun ditinggalkan. Kami menempati rumah besar yang ‘magrong-magrong‘ cukup mencolok bila dibandingkan dengan lingkungan sekitar, dipinggiran Surabaya ketika itu (sekarang sudah ditengah kota). Dengan kondisi itu pantas apabila PKI di wilayah kami menuding keluarga kami sebagai Kapitalis Birokrat, atau Kontra Revolusi. Tudingan antek Kapbir atau Kontrev ketika itu sebetulnya sudah cukup membuat rumah kami dijarah PKI. Tapi karena ayah aktivis Sarekat Buruh Marhaenis (SBM, organisasi yang menginduk ke PNI), maka kami aman-aman saja.
Saat itu, situasi politik memang sedang panas. Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup, Pemimpin Besar Revolusi dan Panglima Tertinggi ABRI, sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan. Kekuatan Nasional bertumpu pada 3 partai politik besar pengusung gagasan Bung Karno, yang NASAKOM itu. Nasionalis: PNI, Agama: NU dan Komunis: PKI. Mereka sibuk saling bersaing menaikkan pamor partai sambil berebut massa. Tak jarang perkelahian fisik terjadi antara mereka.
Tapi anak-anak singkong ini bebas saja kemana-mana. Ada pawai PKI, kami ngikut pawai dibelakang sambil plesetan lagunya “Solmi iwak babi. Remifasol iwak tongkol. Mire mire mire, PKI-ne memang kere”.
Pawai PNI, ikut nyanyi gaya PNI sambil mengejek: “Bung Karno jaya sentosa. PNI-neee ngikut ajaaaa ”.
Pawai NU? ”Bapak NU, Ibu Muslimat, kakak Ansor, adik Fatayat” (nada shalawat Badar). Kalaulah ada yang usil nanya dari pinggir jalan (selalu ada !) “Masa cuma Bapak, Ibu, Kakak, Adik. Yang nyanyi sendiri apaaa?”. Kami jawab sekencangnya “PKI !!!!!”.
Semuanya buntutnya sama, lari serabutan sekencangnya dikejar para Pemuda Rakyat (PKI), Banteng Marhaen (PNI), Banser (NU). Lucunya, kalau kami ngusilin PKI, Banser lah yang ngomporin dan BM lah yang ngumpetin. Begitu sebaliknya………….
PKI atau Partai Komunis Indonesia, meskipun hanya sebagai partai nomer 4 pada Pemilu 1955 (dibawah PNI, Masyumi dan NU), tapi di awal 1965 itu sudah berkembang pesat dan amat agresif. Di desa-desa, mereka menjadi musuh bersama karena merampas kepemilikan lahan pribadi (atas dasar UU Land Reform yang melarang kepemilikan tanah di atas 10 hektar) yang kemudian dibagikan kepada simpatisannya. Di kota, dengan menuduh pedagang atau distributor menumpuk barang untuk keuntungan pribadi (antek Kapbir!), mereka menjarah toko atau gudangnya. (Ingat organisasi massa yang saat ini dengan dalih agama, menghancurkan apa saja yang tak sesuai dengan ideologi mereka?).
Yups, ekonomi ketika itu sedang parah. Meskipun hanya anak singkong, tapi tahu setiap hari ada antrian panjang untuk membeli beras. Sabun mandi? Sekarang mungkin jadi barang sepele. Tapi ketika itu benar-benar jadi barang mewah. Hari ini harganya 100 rupiah, besok bisa jadi 1.000 rupiah, dan…..meskipun kalian punya duitnya, belum tentu kebagian barangnya!
(Saya ingat benar karena Ayah ketika itu mendapat jatah bulanan dari kantor. Beras dan yang lainnya gak ingat persis. Tapi sabun mandi merk Camay yang keciiiiil dan cuma sebiji itu jadi barang mewah betul. Seminggu kami berenam mandi wangi. Minggu berikutnya ya mandi pake sabun cuci cap Tangan. Untungnya, saya punya kulit kwalitas badak)
Bung Karno memang mengandalkan PKI sebagai tulang punggung dalam membangun hubungan baik Jakarta-Hanoi-Peking. DN Aidit, Ketua PKI dalam ulang tahun PKI Mei 1965 mengklaim diri sebagai partai dengan 3 juta anggota dan 20 juta simpatisan. Dengan penduduk Indonesia ketika itu hanyalah sekitar 90 juta, dengan menghitung prosentase “massa mengambang“, wajar kan kalau mereka menyebut diri sebagai partai terbesar di Indonesia, mengalahkan PNI, yang notabene anak kandung Bung Karno?
Dalam posisi strategis dan sekuat itu, kalau disebut PKI melakukan kudeta (seperti kata Orde Baru), lantas kudeta kepada siapa?. Buat apa?. Ah, abaikan saja, cuma pertanyaan iseng…….
Tapi peristiwa itu sudah terjadi, dan 7 orang Perwira Angkatan Darat dan beberapa perwira lain jadi korban.
Lantas, PKI lah yang dituding di belakang semua kejadian ini…….
Gelombang amarah masyarakat yang tertekan akibat ulah PKI sebelumnya menemukan titik balik. Seperti bendungan yang bobol, masyarakat yang didukung oleh Angkatan Darat, mengamuk habis. 10 ribu petinggi PKI terbunuh atau di Pulau Buru-kan lewat Mahmilub. Tapi mereka jauh lebih beruntung daripada para anggota kelas teri, atau para simpatisan, atau mereka yang sekadar dicurigai.
Tak perlu menjadi anggota aktif PKI. Hanya diperlukan saksi saja, cukup untuk menyeret orang yang tak disukai dari hangatnya pelukan anak isterinya untuk tidak pernah kembali. Seorang pemilik toko di depan rumah kami, yang kebetulan ber-etnis Tionghoa diseret dari rumahnya gara-gara dia sering menyumbang PKI. Padahal mestinya dia juga dalam dilema ketika menyumbang itu. Kalaulah dia tak menyumbang, pasti tokonya dijarah PKI. Tapi menyumbang, akibatnya malah dianya gak bisa pulang lagi.
Sungai yang beberapa puluh meter dari rumah setiap hari membawa mayat manusia yang mengapung tanpa identitas, bahkan kadang tanpa kepala. Sering cuma sekali, kadang sampai sepuluh kali sehari (overdosis yak?). Terkadang, dalam perjalanan menghilir, mereka perlu istirahat dan tersangkut di pilar jembatan. Warga sekitarlah yang kemudian mengurus dan memakamkannya. Korban jiwa, menurut statemen resmi Orde Baru, adalah 50 ribuan orang. Tapi banyak pendapat yang menyebut, korban mencapai 500 ribu orang, bahkan ada yang menyebut angka 2 juta manusia terbantai dalam peristiwa amuk massa ini.
Pagi menjelang subuh itu, si anak singkong jagoan neon ini, karena terprovokasi teman-temannya yang katanya menemukan “sesuatu yang asyik“, nekad melompat pagar rumah. Meskipun tahu resikonya bakal berhadapan dengan penggebug kasur Penguasa Rumah alias Ayah dan Ibu. Meskipun juga tahu betul resiko akan pelanggaran jam malam yang diterapkan Penguasa (Penguasa betulan!) ketika itu. Tertangkap aparat, berarti gak main-main lagi. Tapi itu dipikir nantilah, kalau sudah tertangkap betulan. (Toh kami sudah sering berlatih lari kan?)
Di sebuah area pemakaman tak jauh dari rumah, lewat sawah dan hutan bambu yang lumayan lebat, bandit-bandit kecil ini benar-benar menyaksikan (meskipun sambil ngumpet dan dari jarak jauh) secara “live” proses penyembelihan manusia oleh sesamanya. Bukan hanya sekadar dibunuh!. Di keremangan pagi itu, gak jelas siapa yang melakukan dan siapa yang jadi korban. Tapi tak jauh dari situ, ada beberapa jip dan truk tentara sedang diparkir, galian lubang besar, tumpukan mayat dan calon korban yang menunggu giliran……….. Gak usah lagi saya cerita tentang bunyi-bunyian apa yang saya dengar ketika itu. Penampakan itu bukan hanya visual kan?
Kejadian ini tidak diceritakan dalam film resmi dan propaganda yang maniiiis itu kan? Yang jelas, penampakan pagi itu menjadikan saya benar-benar dicekam horor selama bertahun-tahun…..
Ah, semoga saja tidak akan pernah terjadi lagi revolusi atas nama apapun di Indonesia ini….. Harga yang harus dibayarkan buat nilai kemanusiaan, benar-benar terlalu mahal!
Ahmad Jayakardi
No comments:
Post a Comment