Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, menyimpan misteri tentang kehidupan di masa lalu. Diduga ada piramida di gunung tersebut. Perlu penelitian lebih lanjut untuk bisa memastikan apakah pada zaman dulu ada peradaban maju di area Gunung Padang.
“Kalau benar hipotesa zaman dulu sudah peradaban maju, kita harus belajar dari masa lalu. Kita juga belajar bagaimana peradaban besar runtuh karena bencana. Sehebat-hebatnya peradaban, kalau terbukti batu-batu yang bergelimpangan karena bencana, kita harus waspada,” kata Dewan Pengarah Tim Terpadu Mandiri Gunung Padang, Andi Arief.
Berikut ini wawancara detikcom dengan Andi Arief pada Selasa (22/5/2012)
Awal mula penelitian di Gunung Padang bagaimana?
Sudah hampir dua tahun, sudah diseminarkan dan sudah dipresentasikan dan kesimpulannya dari pertemuan dengan Ibu Wamen Kemendikbud, ini harus ada tim terpadu, jadi ini harus tetap dilanjutkan. Awalnya tim katastropik purba memang meneliti tentang kebencanaan. Sekarang data-data kebencanaan sudah didapatkan bahwa sesar Cimandiri itu aktif, sesar Lembang itu aktif, sekarang masuk pada wilayah arkeologi, karena ada dugaan dari teknologi, bahwa ada bangunan kita tidak tahu itu kapan, walaupun ada carbon dating-nya, namun kita tidak tahu di zaman siapa. Untuk mengetahui itu, lalu ada tim terpadu.
Sudah sampai tahap mana penelitiannya?
Belum sampai tahap ekskavasi. Baru kemarin mengukur ulang, terutama di arah timur tenggara. Ketika memasang alat itu secara tidak sengaja menemukan terasering-terasering baru, yang mungkin lebih sekitar 20-an lah undak-undaknya.
Arkeolog Ali Akbar juga secara tidak sengaja menemukan tembikar, padahal belum sampai ke atas. Dalam arkeologi ini merupakan suatu petunjuk.
Kita akan merencanakan untuk ekskavasi lokal. Di tempat mana yang bisa dilakukan ekskavasi secara lokal yang bisa menemukan bukti bersama.
Memang dari penggunaan teknologi kita mengidentifikasi ada satu atau dua pintulah. Sehingga kita harap dari ekskavasi ketemu pintu. Dan pintu ada di luar areal yang sekarang ada.
Jadi jangan dibayangkan ekskavasi atau pengeboran itu seperti ngebor gas, hanya mengambil uji sampling. Sudah ketemu satu sampel yang cukup, ya sudah. Bahwa ada indikasi man made structure, iya.
Apa bisa disimpulkan itu piramida? Atau punden berundak-undak?
Terserahlah orang mau menggunakan istilah piramida, punden berundak atau apa. Pembuktiannya setelah diekskavasi baru ketahuan nanti. Karena sekarang pengertian piramida kan orang fokus ke Mesir, kalau kita kan percaya piramida itu bangunan yang berfungsi sebagai ada fungsi tertentu dari bangunan itu. Nah kan apakah dia semacam satu tempat seperti solar cell, pembangkit tenaga matahari belum jelas juga. Yang jelas, piramida itu bukan pada bentuk tapi pada fungsi. Dalam tradisi kita, itu punden berundak-undak.
Nama itu bisa berganti-ganti, bisa paramada, piramida, ya itu ada yang percaya demikian. Di zaman apakah itu dibangun kita masih mencari. Nanti kita belum bisa menempatkan di zaman sejarah kapan, apakah megalitikum itu adalah sisa dari kemajuan yang maju, apakah megalitikum seperti zaman batu sekarang, ataukah yang lain. Sehingga kita bisa mengambil hipotesa, apakah ini bekas dari peradaban yang maju dulu atau kita dari nol sebagai bangsa. Itu nanti jawabannya, kalau sudah ketemu peta.
Apa saja benda-benda purba yang ditemukan selain tembikar dan batuan pasir?
Kalau melalu teknologi bisa kita simpulkan memang ada. Ada pasir, tapi untuk arkeologi butuh fakta karena arkeologi nggak bisa keluar dari pakem itu. Satu perkawinan metode baru, yang memang teknologi dunia berubah. Dulu mungkin zaman Raffles itu belum ditemukan.
Berapa lama sampai proses ekskavasi?
Kalau ekskavasi lokal tergantung pertemuan dengan para ahli. Ekskavasi lokal itu hanya melihat ada pintu. Kalau sudah ketemu pintu kita akan stop dan akan melaporkan ke instansi berwenang, badan arkeologi. Itu cukup jadi bahan. Membuktikan dari pengamatan alat itu ternyata benar. Jadi bangunannya masih ada, kalau satu sudah terbukti maka ya jadi. Apalagi ditemukan trap baru kemarin itu. Belum pernah itu dari tahun 1914, jalur itu ditemukan.
Hasil pengamatan georadar, apakah bangunan itu utuh?
Masih utuh. Awalnya kita nggak tahu bentuknya seperti apa, apakah candi atau chamber-chamber kemudian ada lorong. Jadi alat itu kan kaya kita survei di Sadahurip, Dago Pakar dan Gunung Padang, untuk kehati-hatian karena geolistriknya sama, kita coba kalibrasi, coba untuk mengukur kejelian alat, untuk gua di Dago Pakar, ternyata sama. Untuk bangunannya kita kalibrasi di Gunung Padang. Dua ini betul, maka Sadahurip juga sama. Sadahurip belum bisa dikatakan man made karena kita belum ngebor.
Bagaimana reaksi peneliti di Indonesia, soal temuan ini?
Mereka antusias. Tapi harap dipahami kalau ada perbedaan pendapat soal istilah atau lain-lain itu wajar. Jadi geologi dan geologi bisa jadi berbeda pendapat. Ada yang belum menggunakan alat, ada yang sudah menggunakan alat. Arkeolog juga berbeda pendapat, memang faktanya seperti itu, ada beberapa mazhab yang berbeda. Sejarawan juga begitu. Biarkan saja berkembang.
Apa yang diharapkan dari proses ini semua buat masyarakat?
Kalau benar hipotesa zaman dulu sudah peradaban maju, kita harus belajar dari masa lalu. Kita juga belajar bagaimana peradaban besar runtuh karena bencana. Sehebat-hebatnya peradaban, kalau terbukti batu-batu yang bergelimpangan karena bencana, kita harus waspada. Jadi kita belajar antara peradaban dan bencana ini tipis-tipis saja. Kita saja kaget tsunami di Aceh, kaget semua, padahal itu siklus.
Bagaimana anggaran untuk penggalian ini?
Banyak yang mengira penelitian ini menggunakan dana besar, padahal enggak. Jadi ini banting-bantingan sajalah. Paling sewa alat. Dan tidak rumit kok. Alat pasang, ngebor juga ngebor biasa aja. Bisa ditangani oleh bantingan.
Kalau ekskavasi nggak mungkin oleh peneliti. Tapi negara kan perlu bukti dulu, jadi tim terpadu ini semacam transisi, kalau terbukti akan melapor kepada menteri dan lembaga terkait. Kalau total biaya, saya nggak tahu persis.
Ini risetnya masih mandiri, riset dari para peneliti secara mandiri. Saya cuma mengkonsolidasikan dan mengkomunikasikan saja. Dan membantu di birokrasinya. Para peneliti ini memang sudah wajib diberi kemudahan dalam hal perizinan karena itu kan sangat positif.
Reaksi warga lokal?
Kita sudah ngasih pengertian, mereka mendukung. Mungkin warga Cianjur, kita harus kulonuwunlah. Mungkin besok juga ada pertemuan di sana. Yang jelas, tidak akan merusak situs, kedua tidak akan merusak lingkungan sekitar. Kalau merusak lingkungan sudah pasti dipukulin masyarakat. Jadi memang istilah itu, pengeboran ekskavasi memang belum. Jadi tidak akan merusak. Justru kita akan melawan orang-orang yang merusak situs.
Sekarang pengunjung sudah 1.200 di hari Minggu. Artinya orang jadi dirasa cukup penting. Buat pariwisata, religiusitas dan bangkitnya keilmuan kita, geologi, arkeologi dan astronomi.
Pak SBY bagaimana, apakah mendukung?
Pak SBY mendukung riset ini. Beliau berpesan dilakukan yang benar. Sebelum ekskavasi besar-besaran, presiden mengingatkan agar masyarakat dimakmurkan dulu, dengan pengertian jalan diperbaiki. Pastikan program pemerintah sampai di masyarakat. Mereka pemilik wilayah harus disiagakan dulu.
Mitos di sana bagaimana?
Jadi itu yang masih kita gali, folklore cerita rakyat, ini yang mau kita gali. Situs Gunung Padang ini antik.
Rachmadin Ismail
No comments:
Post a Comment